ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Pengangkatan Jenazah dari Lubang Buaya |
Mengangkat
jenazah tujuh pahlawan revolusi di Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi
sumur yang dalam dan mayat yang mulai membusuk, membuat evakuasi sulit
dilakukan.
Tapi
para prajurit Kompi Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL),
tak mau menyerah.
Sebenarnya
jenazah sudah ditemukan sejak sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 3 Oktober
1965, atas bantuan polisi Sukitman dan masyarakat sekitar.
Peleton
I RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong Panjaitan segera melakukan penggalian.
Tapi
mereka tak mampu mengangkat jenazah karena bau yang menyengat.
Jenderal
Soeharto pun memerintahkan kepada pasukan evakuasi bahwa penggalian dihentikan
pada malam hari.
Maka
penggalian pun ditunda dan penggalian akan kembali dilanjutkan keesokan
harinya.
Dalam
buku Sintong Panjaitan, "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" yang
ditulis wartawan senior Hendro Subroto, dilukiskan peristiwa seputar
pengangkatan jenazah.
Kala
itu Sintong berdiskusi dengan Kopral Anang, anggota RPKAD yang dilatih oleh
Pasukan Katak TNI AL.
Anang
mengatakan peralatan selam milik RPKAD ada di Cilacap, hanya KKO yang punya
peralatan selam di Jakarta.
Maka
singkat cerita, KKO meminjamkan peralatan selam tersebut untuk operasi
pengangkatan jenazah dari dalam lubang sumur di daerah lubang buaya tersebut.
Tanggal
4 Oktober, Tim KKO dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan
evakuasi jenazah pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam
lubang yang sempit itu.
Pukul
12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia
mengenakan masker dan tabung oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu
jenazah. Setelah ditarik, yang pertama adalah jenazah Lettu Pierre Tendean,
ajudan Jenderal Nasution.
Pukul
12.15 WIB, Serma KKO Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu
jenazah, tapi rupanya jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa
ditarik.
Pukul
12.30 WIB, giliran Prako KKO Subekti yang turun. Dua jenazah berhasil ditarik,
Mayjen S Parman dan Mayjen Suprapto.
Pukul
12.55 WIB, Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT
Haryono dan Brigjen Sutoyo.
Pukul
13.30 WIB, Serma KKO Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil
mengangkat jenazah Letjen Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah
pahlawan revolusi yang ditemukan.
Sebagai
langkah terakhir, harus ada seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek
apakah sumur sudah benar-benar kosong.
Tapi
semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada lagi yang mampu masuk lagi. Mereka
semua kelelahan.
Bahkan
ada yang keracunan bau busuk hingga terus muntah-muntah.
Maka
Kapten Winanto sebagai komandan terpanggil melakukan pekerjaan terakhir itu.
Dia turun dengan membawa alat penerangan.
Ternyata
benar, di dalam sumur masih ada satu jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen
D.I. Panjaitan.
Dengan
demikian lengkaplah sudah jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD
yang dinyatakan telah hilang diculik Gerakan PKI pada tanggal 30 September
1965.
Kapten
KKO Winanto sendiri terus melanjutkan karirnya di TNI AL. Kapten Winanto
terakhir berpangkat Mayor Jenderal KKO (Purn).
Ia
lahir di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 6 Maret 1935. Tentara lulusan Akademi
Angkatan laut tahun 1959 ini pernah menjabat Komandan Resimen Latihan Korps
Marinir, Komandan Brigade Infanteri 2/Marinir sebelum pensiun sebagai Gubernur
AAL.
Ia
meninggal pada Minggu, 2 September 2012 pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di
kediamannya Jl Pramuka no 7, Kompleks TNI AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya
dimakamkan dengan upacara militer di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
Kronologi
Visum et Epertum Dokter Forensik
4
Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu. Lima dokter yang diperintahkan
Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto memulai tugas mereka.
Jenazah
enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang
dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu
persatu. Ketujuh korban itu adalah:
1.
Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Menteri Panglima Angkatan Darat).
2. R.
Soeprapto, Mayor Jenderal. (Deputi II Menpangad).
3. MT.
Harjono, Mayor Jenderal. (Deputi III Menpangad).
4. S.
Parman, Mayor Jenderal. (Asisten I Menpangad).
5. D.
Isac Panjaitan, Brigardir Jenderal. (Deputi IV Menpangad).
6.
Soetojo Siswomihardjo, Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur
Kehakiman AD).
7.
Pierre Andreas Tendean, Letnan Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH
Nasution).
Jenazah
enam jenderal dan satu perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah
sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur. Dari lima anggota
tim dokter yang mengautopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter
Angkatan Darat, yakni:
1. dr.
Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP
Angkatan Darat)
2. dr.
Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat)
Sementara
tiga lainnya adalah dokter Kehakiman, masing-masing:
3.
Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran
Kehakiman, juga profesor di FK UI)
4. dr.
Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)
5. dr.
Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran
Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Akhirnya lewat
tengah malam,
pukul
12.30 atau dinihari pada tanggal 5 Oktober 1965, dr. Roebiono dkk menyelesaikan
tugas mereka.
Beberapa
jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh jenazah korban
penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi ini,
dimakamkan di TMP Kalibata.
sumber : rakalive1
Silahkan di share
0 Response to "Inilah Proses Pengangkatan Jenazah Pahlawan Revolusi dari Lubang Buaya. Kisahnya Sangat DRAMATIS.!"
Posting Komentar